Kamis, 30 April 2015

Cerpen "Antara Kesenangan dan Kesedihan"

Diposting oleh ViraEkafp di 15.45

ANTARA KESENANGAN DAN KESEDIHAN

Karya : Vira Eka Frans Pasa

Mendengar kata meninggal, Mbah Warso sudah bersiap siap untuk membawa cangkul serta linggis tuanya. Ia masih sering dipercaya oleh para warga kampung untuk menggali liang lahat. Salah satu mata pencarian yang bisa dibilang minim upahnya.

“Mbah, tolong cepat selesaikan liang lahat itu, jangan sampai jenazah datang duluan di pemakaman” pinta kuncen pemakaman. Langsung saja Mbah Warso dengan cekatan mencari tanah kosong di sela-sela makam. Pekerjaan itu tak dilakukannya sendirian. Ia ditemani oleh penggali kubur lain yang tentunya lebih muda, panggil saja Pak Mat. Tanah 2 kali 1 meter pun akhirnya ia temukan di pojok pemakaman dekat pohon kamboja berbunga lebat. Langsung saja ia dan Pak Mat menyabit rumput. Setelah dirasa bersih, mereka mulai menggali tanah itu. suara hantaman cangkul yang tak jarang menghantam batu itu mengiang di telinga Mbah Warso.

“Jenazah sudah tiba” ujar Pak Mat satu jam kemudian.
Kedua bola Mata Mbah Warso yang sudah tua tetap bisa melihat dengan jelas bahwa iring iringin penghantar jenazah yang datang terlihat sangat panjang. Tangisan demi tangisanpun menyelimuti pemakaman jenazah Pak Muji, seorang petinggi di kampung Mbah Warso yang meninggal hari ini. Setelah Pak Buyung membacakan doa dan mengumandangkan adzan, jenazah itu dimasukkan ke dalam liang lahat. Dengan cekatan Mbah Warso dan Pak Mat  menguruk liang lahat itu dengan bekas tanah galian tadi. Sekarang, sudah nampak gundukan tanah diatas makam Pak muji.

Satu persatu orang-orang meninggalkan makam baru itu. Mbah Warso dengan lemasnya duduk diatas makam orang lain yang berlantaikan marmer, terlihat sangat nyaman baginya. Istirahat dulu, pikirnya. Keringatnya bercucuran membasahi wajah coklatnya serta tubuhnya. Bukan hanya keringat yang jatuh, namun air mata Mbah Warso juga sesekali jatuh.

“Ya Allah, kenapa hidupku merana seperti ini? hanya mendapat rejeki bila ada orang yang meninggal” renungnya demikian. “Usiaku sudah 60 tahun, ya Allah. Apakah kau tak mau menggelintirkan secuil nasib indah di masa tuaku ini?” renungannya tetap berlanjut. Namun segera ditepisnya dengan istighfar “astaghfirullah, tak seharusnya aku menghakimimu ya Allah, seharusnya aku bersyukur atas nikmatmu”
“Mbah ini kopi serta uang tambahan yang sudah dijanjikan oleh anak Pak Muji tadi” Pak Mat menyodorkan segelas kopi hangat dan sebuah amplop yang tak lain berisikan sejumlah uang. Dengan senang Mbah Warso menerimanya. Bersyukur bila di hari itu ia mendapat nafkah untuk istrinya di rumah.

Istri Mbah Warso tak banyak bicara ketika Mbah Warso pulang ke rumah. Sekalinya ia bingung karena beras, gula dan bahan pokok lainnya habis, ia pun tak berani marah. Ia tau bahwa mencari nafkah itu tak mudah, apalagi di kota besar seperti ini. Mungkin sejak dipinang oleh suaminya puluhan tahun lalu, ia sudah terbiasa hidup serba kekurangan walaupun ia sendiri juga bekerja untuk membantu suaminya. Walaupun hanya menjadi penjual daun-daun pisang.

“Ini tehnya Pak, mumpung masih anget”

Pahit! rasa yang ia rasakan sama seperti hidupnya dan hidup istrinya selama ini. Bila teh rasanya sudah seperti ini, ia tahu bahwa gula dan bahan pokok lainnya pasti hampir habis atau mungkin sudah habis. Ia pun segera menyodorkan uang yang ia dapatkan dari menggali kubur hari ini. Ia berharap istrinya bisa memanfaatkan uang yang tak seberapa itu.

5 tahun sudah berlalu, tetapi tetap saja Mbah Warso menggantungkan hidupnya dengan menjadi seorang penggali kubur. Kulit yang semakin menua, daya tahan tubuh dan tenaga yang semakin melemah, membuat Mbah Warso kian hari kian menurun staminanya. Jamu yang dibuatkan oleh istrinyalah yang mampu  sedikit mengatasi masalah itu.

Akhir akhir ini jarang sekali Mbah Warso mendapatkan job untuk menggali liang lahat. Hal itu membuat Mbah Warso pusing tujuh keliling. Ia memutar otak, mencari jawaban yang tepat atas masalah ekonomi yang sedang dihadapinya. Apakah harus Mbah Warso berdoa agar Allah melepas satu nyawa manusia agar ia bisa mendapatkan rezeki? Astagfirullah..

“Pak, ibu tadi dengar dari masjid sebelah kalau Bu Alima meninggal dunia” ucap istrinya sambil mengikat beberapa daun pisang untuk dijual nantinya.

Kematian Bu Alima bagi Mbah Warso berada di antara kesenangan dan kesedihan. Mbah Warso senang apabila ia mendapatkan rezeki nantinya. Namun disisi lain, Mbah Warso sedih bila ada yang tertimpa musibah, apalagi bu Alima, orang yang selama ini baik kepada dirinya.

Mbah Warso pergi ke belakang rumah untuk mengambil alat-alat galinya sembari menunggu kuncen pemakaman datang ke rumahnya. Namun sudah satu jam lebih ia menunggunya. Aneh! tak biasanya Mbah kadir, kuncen pemakaman di desanya, tak menghubunginya atau datang ke rumahnya bila ada orang yang meninggal.

Mbah Warso akhirnya memutuskan untuk berangkat ke pemakaman. Ia berniat untuk memberi tahu kuncen pemakaman bahwa ia sudah siap untuk menggali liang lahat. Namun betapa terkejutnya ia ketika sampai di pemakaman. Ternyata liang lahat untuk bu alima sudah hampir jadi. Batinnya mendadak sesak, melihat kini para pemuda desa yang sebelumnya adalah pegangguran, menggambil alih pekerjaannya.
memutuskan untuk berangkat ke pemakaman. Ia berniat untuk memberi tahu kuncen pemakaman bahwa ia sudah siap untuk menggali liang lahat. Namun betapa terkejutnya ia ketika sampai di pemakaman. Ternyata liang lahat untuk bu alima sudah hampir jadi. Batinnya mendadak sesak, melihat kini para pemuda desa yang sebelumnya adalah pegangguran, menggambil alih pekerjaannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sprinkle Word Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting